Selasa, 19 Maret 2013

OMONG DOANG (OMDO)


Ini di tulis disela-sela Presentasi KKPRA Diklat Calan Kepala KPH Fase II

Saya memperhatikan, ketika teman-teman Calon KKPH akan tampil untuk mempresentasikan KKPRA-nya masing-masing, timbul kegundahan pada sebagiannya, karena mereka beranggapan belum pernah tampil di depan audiens.  Pada hal ini merupakan kewajiban masing-masing untuk tampil.  Maka saya coba menulis tentang OMONG DOANG ini.

Omong dalam bahasa Indonesia disebut berbicara.  Kita mengetahui semenjak kita lahir dan beranjak besar kita pasti sudah bisa berbicara, sehingga berbicara menjadi aktivitas harian kita, bahkan orang yang sudah tidur kadanngkala juga berbicara dalam bahasa kita sering disebut Menggigau.

Banyak orang mengatakan kepada seseorang bahwa anda Omong Doang (OMDO), tapi apakah omong itu sesuatu yang mudah atau sesuatu yang butuh keahlian...???

Untuk menjawab hal tersebut butuh beberapa hal, karena jawabnya adalah TERGANTUNG.....

1.  Jika seseorang melakukan omong dengan tanpa maksud dan tujuan, maka memang itu sangat mudah, karena kita bisa berbicara dimana saja, kapan saja dan berbicara apa saja, tanpaperlu memperhatikan hasil dari pembicaraan.

Pembicaraan seperti inilah yang memang MUDAH dan banyak di praktekkan dalam kehidupan.  Orang berbicara dengan teman sepermainan, berbicara di warung, berbicara di lapangan, yang jelas pembicaraannya memang tidak memiliki maksud tertentu.

2. Jika seseorang melakukan OMONG dengan maksud dan tujua tertentu, maka itu memang termasuk rumit, kecuali bagi orang-orang yang memiliki keterampilan dan keahlian.

Omong bukanlah sebuah ilmu yang dapat kita baca, kemudian akhirnya kita menjadi bisa, tapi ilmu lebih kepada keterampilan, maka OMONG perlu di latih dan di didik, sehingga seseorang tersebut dapat OMONG sesuai dengan keadaan dan kepentingannya.  Beberapa teknik OMONG bisa kita lihat sesuai dengan keadaan, kepentingan dan dalam situasi apa, dan siapa yang kita hadapi.

OMONG dengan seseorang, empat mata atau berdua saja atau bertiga untuk menjelaskan sesuatu tentu akan berbeda ketika kita OMONG di hadapan beberapa orang dalam bentuk PRESENTASI, tentu akan juga berbeda dengan OMONG didepan SEMINAR, juga akan berbeda dengan OMONG di depan massa.  Semuanya merupakan keterampilan.

Seandainya kita pernah membaca sejarah, bagaimana seorang yang berna HOS COKROAMINOTO, seorang tokoh Islam, Pahlawan Bangsa, Mertuanya Soekarno (presiden pertama RI), gurunya Soekarno.  Semua orang tahu pada waktu awal pergerakan beliau sering disebut Raja Jawa Tanpa Mahkota.  Artinya omongannya sangat di dengar dan diperhatikan oleh lawan bicaranya, maupun oleh orang-orang yang jauh di seluruh penjuru nusantara.

Disanalah Soekarno belajar.  Waktu itu beliau berfikir, cara OMONG HOS COKROAMINOTO biasa-biasa saja, artinya seperti bicaranya para Kiyai pada umumnya, datar, tidak banyak variasi, akan tetapi penuh dengan isi.  Dengan cara berbicara seperti itu saja, banyak yang mau menjadi pengikutnya.  Kemudian Soekarno berfikir, bagaimana kalau seandainya saya tambah sedikit variasi dalam carang OMONG ini, tentu orang akan semakin tertarik dan mudah untuk mengikutinya.  Akhirnya Dunia mengetahui bahwa Soekarno adalah orang yang sangat Jago dalam OMONG.

Saat ini setiap orang harus pandai OMONG, kalau mereka punya keinginan yang akan di wujudkan,  karena semuanya pasti di mulai dari OMONG, tidak mungkin dimulai dari aktivitas lain.  Tapi perlu diingat ketika akan OMONG, maka ada aktivitas yang perlu dilakukan yaitu berjalan, bergerak ke tempat orang yang akan di ajak OMONG atau Mengundang dan Mengajak orang yang akan di ajak OMONG.

Yang tidak boleh dilakukan adalah OMONG sendiri di depan dinding, di sepanjang jalan, di tengah keramaian.   Kalau mau OMONG sendiri, maka caranya adalah dengan :
1. MENULIS,  ketika kita Menulis, maka OMONG sendiri kita juga akan di dengar dan dibaca oleh orang lain.
2. Dapat  dilakukan di depan Kamera, di depan Rocorder,  sehingga OMONG kita juga akan bisa di dengar oleh orang lain.

Yang jadi pertanyaan adalah, apakah OMONG itu bermanfaat atau ada gunanya...???

Untuk menjawab hal tersebut tentu juga sangat tergantung ke adaan dan situasinya :
1.  Seorang guru, Penyuluh, Widya Iswara, Dai, Ust, memang tugasnya adalah OMONG.  Kalau dia lebih banyak bergerak dari pada ngomong, maka hal itu tidak ada artinya.  Bahkan bayaran tertinggi saat ini adalah orang yang memiliki ilmu tertentu dan kemudian diminta untuk OMONG menyampaikan ilmunya kepada orang yang di harapkan.
Coba kita bayangkan, kalau seandainya orang yang punya ilmu kemudia tidak di suruh OMONG tapi lebih banya mengerjakan sendiri hasil temuannya, dan orang lain di suruh melihat apa yang di kerjakannya, maka tentulah orang tidak akan banyak mengerti dengan apa yang dikerjakannya.

2.  Seorang pekerja kasar, maka kegiatannya adalah bekerja fisik, dan tidak boleh banyak OMONG.  Karena dengan banyak OMONG aktivitasnya tidak akan ada artinya bahkan tidak akan menyelesaikan pekerjaan.

Jika kita memperhatikan lingkungan kita, semakin tinggi level seseorang, maka aktivitasnya lebih banyak kepada OMONG dari pada aktivitas fisik.

Oleh karena itu supaya kita menjadi orang hebat harus belajar bagaimana OMONG, apakah OMONG di depan seseorang, OMONG di depan undangan, OMONG di depan orang banyak maupun OMONG dalam diri sendiri dalam bentuk tulisan, maupun dalam bentuk rekaman.

Kita tidak perlu mendengar ocehan orang lain, ketika kita di tuduh OMONG DOANG, karena OMONG memang sesuatu yang sangat penting, dan OMONG akan mengubah kehidupan dunia.  Anda punya sesuatu, kalau anda tidak OMONG, maka apa yang anda punya tidak akan ada artinya.

MARILAH BELAJAR OMONG.
(Jamal Husni)

Sabtu, 16 Maret 2013

BAGAI MEMANDIKAN KUDA


Sebuah Pembelajaran Resolusi Konflik di Petak 73 KPH Bandung Selatan

Petak 73 yang terletak di Desa Pulosari Kec. Pangalengan, dahulunya merupakan kawasan hutan Produksi, dimana masyarakat juga banyak terlibat dalam pengolahan lahan di kawasan tersebut. Namun ketika muncul keputusan Pemerintah merubah kawasan tersebut dari kawasan produksi menjadi kawasan lindung, yang berdampak tidak adanya akses masyarakat ke dalam kawasan tersebut, pada hal sebagian tanaman yang ada di dalam kawasan tersebut merupakan tanaman masyarakat yang bekerjasa sama dengan Perum Perhutani KPH Bandung Selatan.

Pada tahun 1997 terjadilah awal krisis moneter, yang ditandai dengan tutupnya banyak perusahaan yang berakibat terjadinya PHK besar-besaran yang juga menimpa masyarakat Pangalengan yang bekerja di pabrik-pabrik tersebut. Dampak lanjutannya adalah mereka kembali ke kampung halaman masing-masing untuk bertahan hidup. Untuk bertahan hidup, maka mereka dapat melihat kawasan hutan yang dapat dijadikan sumber penghidupan.

Keputusan menteri koperasi pada masa Adi Sasono yang menggulirkan KUT kepada masyarakat sebagai akibat krisis moneter, akibatnya masyarakat yang tidak punya lahan juga melirik kawasan hutan sebagai tempat berusaha. Kawasan tersebut adalah petak 73 di Desa Pulo Sari Pangalengan.

Akibat berbagai kebijakan tersebut menimbulkan konflik di tengahg masyarakat, dimana pemerintah ingin daerah kawasan hutan yang ada di Petak 73 mernjadi kawasan lindung dalam rangka menjaga catchment area Citarum, yang akan dapat menjaga keutuhan wilayah di DAS Citarum sampai ke Jakarta, sementara masyarakat sekitar, karena di dera oleh kebutuhan hidup membutuhkan lahan tersebut.

Untuk meredakan konflik yang terjadi di tengah masyarakat, maka Gubernur Jawa Barat memberikan alternatif pemecahan masalah bagi masyarakat yang sudah terlanjur masuk ke dalam kawasan hutan: Alih fungsi, Alih komoditi, dan Alih lokasi.

Namun karena masyarakat sudah terbiasa dan butuh dengan keadaan kehidupannya membuat mereka nekad untuk tetap melakukan aktivitas walaupun dengan sembunyi, ditambah lagi keterbatasan aparat keamanan, sehingga kawasan yang ada pada petak 73 menjadi semakin hancur dan menjadi lahan yang terbuka dengan tingkat erosi yang sangat tinggi.

Sebagian masyarakat yang berusaha di kawasan hutan perhutani tersebut, akhir mengambil pilihan alih komoditi, yaitu dengan mencoba menanam tanaman kopi, yang berasal dari masukkan salah seorag anggota masyarakat Pangalengan yang bekerja sebagai penyuluh du Aceh tengah.

Tapi sebagian besar masyarakat tidak mau, maka di sini diambillah sebuah inisiatih oleh beberapa orang tokoh masyarakat Pangalengan untuk memulai sebuah usaha penanaman Kopi, walaupun tidak mendapatkan respon yang berarti dari masyarakat lainnya.  Mereka ini ingin membuktikan bahwa usaha Kopi ini sangat menguntungkan, dan lahan kawasan hutan juga akan terjaga dengan baik.

Maka dalam hal ini saya mengatakan bahwa tokoh masyarakat ini BAGAI MEMANDIKAN KUDA.  Artinya Ketika kita akan memandikan kuda, maka kuda tidak akan pernah mau masuk ke dalam air, kecuali kita dulu yang masuk ke dalam air tersebut, baru kuda tersebut kita tarik dan di masukkan ke dalam air.

Begitulah kiranya kita menyelesaikan konflik yang terdapat di masyarakat, bahwa harus ada orang yang mampu membuktikan bahwa suatu usaha, suatu perubahan yang dilakukan akan memberikan manfaat yang sangat besar kepada masyarakat.  Setelah mereka berhasil, maka masyarakat tanpa di komando atau diminta akan ikut berbondong-bondong mengikuti jejak kita.