Ir. Jamal Husni, MM
Pembelajaran hari kamis dan Jumat tanggal 11 -12 April 2013 di lanjutkan
ke KPH Bali Tengah yang meliputi empat Kabupaten yaitu Kabupaten Badung,
Bangli, Buleleng dan Kabupaten Tabanan.
Para peserta berangkat dari Denpasar menuju Bali Tengah dengan 3 buah
minibus, sekalian chek out dari hotel, karena hari ini kami pindah hotel ke
pantai utara pulau Bali. Lokasi yang
akan dituju untuik 2 hari ini meliputi 6 tempat yaitu pengelolaan hutan oleh masyarakat
adat di Pura Luhur Batukau di desa Wongaya Gede Kabupaten Tabanan, kemudian di
lanjutkan ke Kebun Raya Eka Karya Bali di Desa Candikuning, Baturiti Kabupaten
Tabanan, kemudian dilanjutkan ke Hutan Desa di Desa Selat Kabupaten Buleleng. Pengelolaan Hutan di Desa Galungan, Pengelolaan Air terjun di Desa Bedukul dan Penangkaran rusa di Desa Bebiti.
Perjalanan di tempuh ke desa Wongaya selama 2 jam, melewati
sawah yang terhampar dengan pemandangan sangat indah, apalagi sawah-sawah yang
ada tertata, kemudian dengan metode penanaman serentak membuat pemandangan
tersendiri bagi para peserta pelatihan Calon KKPH Angkatan III fase II ini.
Pura Luhur Batukau
Pura Luhur ini termasuk pura tertua di Pulau Bali. Ketika saya tanyakan tentang sejarah ini,
maka tetua Pura Luhur ini mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui kapan pertama kali pura ini di
dirikan, dari cerita yang mereka dapatkan bahwa ketika para Resi datang dari
Pulau Jawa pada Abad ke 13, mereka sudah menemukan adanya tempat sembahyang di
lokasi ini. Hal ini menunjukkan bahwa
Pura ini termasuk pura yang sudah sangat tua, bahkan ketika saya tanya kepada
orang yang ada di sekitar pura, mereka berani mengatakan bahwa pura ini
didirikan pada abad ke 4, dan juga ada yang mengatakan bahwa pura ini didirikan
sezaman dengan Kerajaan pertama di Indonesia yaitu kerajaan Kutai di Kalimantan
Timur yang didirikan pada abad ke 2 masehi.
Dari 6 Pura besar di Bali, maka pura Luhur Batukau termasuk
salah satunya dari Kahyangan besar di Pulau Bali. Pura ini terletak di tengah hutan lindung
Gunung Batukau, namun kawasan ini sudah di enclave dari kawasan hutan. Keberadaannya di tengah hutan membuat Pura
ini menjadi salah satu tujuan pemujaan umat agama Hindu di Bali dari berbagai
Daerah.
Ketika saya mendengar penjelasan para tokoh dan tetua adat,
maka saya dapat mencatat beberapa hal yang membuat terjaga dan lestarinya hutan
Gunung Batukau yang luas 3.256,62 Ha sebagai berikut :
- Keterikatan masyarakat dengan hutan juga di dukung oleh ajaran agama Hindu yang melekat di tengah masyarakat, walaupun ajaran ini hampir sama saja dengan ajaran pada agama lain yaitu TREE HITA KERANA, Artinya dalam kehidupan ini manusia akan senantiasa berhubungan dengan tiga keadaan yaitu : Hubungan Manusia dengan Pencipta, Hubungan Manusia dengan Alam Lingkungan, Hubungan Manusia dengan sesama manusia.
- Dalam menyikapi hubungan dengan alam lingkungan, maka para tetua adat atau para guru atau para pendeta, senantiasa menekankan kepada umat mereka bahwa mereka harus senantiasa menjaga lingkungan mereka sebagai wujud cinta mereka pada sang maha pencipta yang mereka puja di Pura ini. Kebetulan pura ini terletak di tengah kawasan hutan, sehingga tingkat ketergantungan dan petuah para guru serta keyakinan akan ajaran mereka membuat mereka tidak berani merusak hutan.
- Adanya ketergantungan masyarakat akan air untuk keperluan pertanian yang mereka yakini bersumber dari dalam kawasan hutan. Sehingga mereka tetap menjaga hutan, bahkan hasil hutan bukan kayu pun tidak mereka lakukan pemungutan.
- Dengan keberadaan Pura di tengah kawasan hutan, membuat keterikatan masyarakat dengan hutan cukup tinggi, dan masyarakat sudah merasakan keberadaan hutan sangat membantu usaha mereka di dalam bidang pertanian.
- Disamping adanya ajaran Tree Hita Kerana, dan keberadaan para tokoh dan tetua, Peraturan Pemerintah dalam mengatur hutan juga membuat masyarakat Desa Wongaya Gede dan sekitarnya juga selalu menjaga hutan. Ada anggota masyarakat mereka yang sudah merasakan lembabnya penjara karena melakukan penebangan hutan.
- Adanya penjaga desa adat (PECALANG) yang senantiasa melakukan pengamanan di desa adat. Secara permanen belum ada organisasi yang melakukan pengelolaan hutan di daerah ini. Organisasi yang ada, hanya mengelola soal pemujaan yang ada di Pura ini, dan masyarakat mengikuti peraturan yang mereka lakukan, dan mereka secara swadaya berusaha menjaga hutan.
- Adanya hubungan yang baik antara tokoh masyarakat adat dengan Dinas Kehutanan, baik Dinas Kehutanan Kabupaten Tabanan maupun dengan KPH Bali Tengah.
KPH Bali Tengah
KPH Bali Tengah didirikan sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali No 2 Tahun 2008. Luas wilayah yang dikelola seluas 14.000 Ha
lebih, yang dibagi sebanyak 7 Resort Pengelolaan Hutan. Dimana masing-masing
RPH memiliki luas lebih kurang 2.000 Ha.
Dari penjelasan Bapak Agung sebagai Kepala KPH Bali Tengah,
belum ada kegiatan pemanfaatan yang di lakukan, apakah itu dalam bentuk pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), pemanfaatan jasa lingkungan, wisata religi maupun
pemanfaatan sumber air. Saat ini
semuanya masih dalam bentuk rencana untuk melakukan pemanfataan kawasan hutan,
mudah-mudahan di masa depan dapat terelaksana.
Di dalam kawasan KPH Bali Tengah ada lima desa yang sedang
dalam proses perinjinan dari Gubernur Bali untuk ijin pengelolaan hutan Desa,
yaitu Huta Desa Suligi seluar 90 Ha, Hutan Desa Lemukih seluas 988 Ha, Hutan
Desa Wangiri seluas 250 Ha, Hutan Desa Selat seluas 516 Ha dan Hutan Desa
Galungan seluas 712 Ha.
Penggunaan kawasan hutan oleh pihak lain pada kawasan KPH
Bali Tengah adalah dalam bentuk Pinjam Pakai Kawasan hutan untuk penelitian
LIPI dalam bentuk Kebun Raya Eka Karya Bedugul, serta penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan Geothermal, namun ini mendapat penentangan dari masyarakat
Bali.
Kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh KPH Bali Tengah yaitu
dalam bentuk Reboisasi, pengkayaan hutan dan pemberian bibit kepada masyarakat,
sementara kegiatan perlindungan dan pengamanan dalam bentuk pencegahan
pencurian kayu/penebangan liar, perambahan kawasan dan pencegahan kebakaran
hutan. Kegiatan ini di kawal oleh 52
orang personil, dimana 27 orang diantaranya adalah Polisi Kehutanan.
Kebun Raya Eka Karya Bali
![](https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/555893_4907871773630_1292214780_n.jpg)
Kebun Raya ini didirikan pada tahun 1959 seluas 50 Ha, namun
saat ini telah memiliki luas 157,5 Ha.
Pada saat ini telah memiliki 1.204 koleksi jenis, baik dalam bentuk
tumbuhan hidup maupun dalam bentuk koleks herbarium.
Dalam pengelolaannya, Kebun Raya Bali ini di bagi ke dalam
beberapa zona yaitu : zona khusus, zona perkantoran, zona hutan tropis, zona
religi, zona wisata, zona penelitian dan pendidikan, zona penerimaan dan zona
hutan tanaman.
Jumlah tenaga yang melakukan pengelolaan adalah sebanyak 198
orang yang terdiri dari 141 PNS, 55 PTT dan 2 pegawai daerah Kabupaten
Tabanan. Dengan jumlah pegawai sebanyak
ini, Kebun Raya Bali memiliki visi untuk menjadi kebun raya terbaik kelas
dunia.
Desa Adat Selat
![](https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/564447_4907894654202_232006496_n.jpg)
Kesadaran masyarakat Selat, dimulai ketika pada tahun 1988
terjadi kehilangan sumber air pada Desa Selat.
Maka semenjak itu disusunlah sebuah peraturan desa dalam bentuk
Awig-awig, yang salah isinya adalah mengenai pengelolaan hutan. Salah satu isinya adalah, apabila seorang
menebang 1 pohon maka wajib baginya mengganti 10 batang pohon.
Pada tahun 2005 muncul GERHAN yang dilaksanakan pada tahun
2006 oleh 2 kelompok tani, dengan menanam berbagai macam jenis tanaman. Dengan semangat menanam tersebut, pada tahun
2009 hasil tanaman tahun 2006 tersebut di nyatakan sebagai tanaman nomor 1
untuk Propinsi Bali dan ketika di lombakan pada tingkat Nasional, maka tanaman
tersebut mendapat peringkat 2 di seluruh Indonesia.
Dengan adanya mekanisme Hutan Desa di dalam PP No. 6 Tahun
2007 dan Permenhut no 49 tahun 2008, maka Pemerintah Desa selat mengajukan
usulan pencadangan hutan desa kepada Kementerian Kehutanan, dan pada tangga 11
Nopember tahun 2011 keluar izin dari Kementerian Kehutanan seluas 552 Ha untuk
kegiatan Hutan Desa.
Saat ini Desa Selat lagi menunggu izin Gubernur untuk
mendapat hak pengelolaan hutan desa, dimana izin Gubernur masih terkendala
dengan adanya Pemilihan Kepala daerah pada tahun ini, karena persoalan tersebut
di bawa ke ranah politik.
Ketika ditanyakan apa modal untuk membangun hutan desa yang
akan dikelola oleh Bada Usaha Milik Desa (Bumdes), maka kepala Desa mengatakan
:
- Modal utama adalah semangat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dari kawasan hutan
- Kebersamaan yang sudah terjalin baik di tengah masyarakat
- Adanya peran tokoh masyarakat, yang bicaranya diikuti oleh masyarakat
- Adanya pelatihan SDM
- Arisan pohon
- Adanya tenaga local secara swadaya menjadi penjaga hutan secara informal (Pecalang).
![](https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/11793_4910394636700_1983810840_n.jpg)
![](https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/541780_4911246497996_1504787469_n.jpg)
![](https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/552625_4911935675225_529645348_n.jpg)
Setelah melakukan kunjungan ke lokasi wisata air terjun di Desa Bedukul, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Bibiti untuk melihat penangkaran rusa yang dikelola oleh Karang Taruna Desa Bebiti. Tujuan penangkaran ini diutamakan untuk sesembahan ketika ada acara adat di Desa Bebiti tersebut.
Saat ini terdapat 10 ekor rusa yang sedang di tangkar, yang awalnya hanya dua ekor. Luas kebun penangkaran 3.000 meter persegi, cukup untuk 10 ekor rusa berkembang secara alami.
Penutup
Hasil pembelajaran 2 hari ini adalah :
- Ajaran agama sangat berpengaruh terhadap sikap dan prilaku masyarakat
- Peran tokoh masyarakat sangat penting dalam mensukseskan program pemerintah
- Adanya semangat dan keinginan yang kuat masyarakat untuk mengelola hutan
- Perlu dibangun kebersamaan, sehingga tidak rasa curiga di antara masyarakat
- Peran Dinas Kehutanan dalam melakukan pendampingan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar